2016/01/30

MAKAM SUNAN KATONG DI KALIWUNGU,KENDAL

Ada tiga tokoh penyebar agama Islam di wilayah Kendal mereka adalah;
1. Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong,
2. Wali Joko, dan 
3. Kyai Gembyang atau Wali Gembyang atau Raden Gembyang atau Jaka Gembyang. Diantara sentral sejarahnya ada pada diri Sunan Katong yang makamnya di Astana Kuntul Melayang, Protomulyo Wetan Kaliwungu. Itupun banyak diwarnai dengan cerita tutur.

Maka muncul pertanyaan, kapan Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong datang di Kaliwungu-Kendal?. Untuk bisa mengetahui kapan Sunan Katong datang di Kaliwungu-Kendal, terlebih dahulu perlu memahami siapa Sunan Katong yang dimaksud.

Nama Sunan Katong erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit, karena tokoh ini masih ada hubungan darah dengan raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V, ia adalah putra Majapahit dari istri Ponorogo. Setelah kerajaan Majapahit berakhir, ada keterangan yang menerangkan bahwa tokoh ini secara otomatis menjadi keluarga besar kerajaan Demak, karena ia masih ada hubungan saudara dengan Raden Fatah, saudara seayah.
Makam sunan katong di kaliwungu,kendal

Ada keterangan lain yang menerangkan bahwa makam Sunan Katong berada di kota Kaliwungu itu bukanlah Bhatara Katong putera Brawijaya ke V tetapi cucu dari Bhatara Katong, yang mempunyai nama “nunggak semi” dengan kakeknya, yaitu Bhatara Katong. Tokoh muda itu bernama Kyai Katong.

Dijelaskan bahwa Kyai Katong yang cucu Bhatara Katong itu adalah putera Pangeran Suryapati Unus atau Adipati Unus atau Patih Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, putera Raden Fatah, Sultan kerajaan Demak pertama. Sedangkan kapan tokoh ini datang di Kaliwungu-Kendal, memang tidak ada catatan yang jelas. Namun jika dipahami dengan berdasarkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan kemudian menghubungkannya dengan berdasar analisa rasional, maka kedatangan Sunan Katong ini akan bisa diketahui. Data-data itu berhubungan erat dengan penyerangan Kerajaan Islam Demak terhadap bangsa Portugis yang telah menguasai Malaka  dan Sunda Kelapa (Jakarta). Maka, kapan peristiwa itu terjadi?

Bhatara Katong atau Sunan Katong bersama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak “kuntul melayang”. Beberapa tokoh rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien, Han Bie Yan dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal dengan nama-nama Tekuk Penjalin, Kyai Gembyang dan Wali Joko. Dalam catatan sejarah nasional bahwa ketika Nusantara (Malaka dan Aceh) diserang oleh bangsa Portugis (1511), banyak pembesar-pembesar Samudera Pasai (Aceh) yang mengungsi ke Demak, salah satunya pembesar itu terdapat Faletehan atau Fatahillah.
Terhadap penyerangan bangsa Portugis itu, kerajaan Islam Demak melakukan penyerangan balik selama dua kali. Penyerangan pertama terjadi pada tahun 1513 dibawah pimpinan Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus, putera mahkota Kerajaan Islam Demak. Karena penyerangan itu memiliki tujuan multi politik, yaitu politik ekonomi dan politik agama, maka dalam perjalanan pasukan Demak disertai dengan pembinaan pada daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa sebagai basis pertahanan. Dimungkinkan dalam ekspedisi pertama ini (1513) Kyai Katong ada dalam rombongan itu, dan kemudian memilih berhenti membina daerah baru di Kaliwungu-Kendal.
Bila kemungkinan ini benar maka Sunan Katong datang ke Kaliwungu-Kendal pada tahun 1513. akan tetapi catatan ini sedikit kurang valid karena tidak ada data pendukung lainnya. Dan disamping itu masanya sangat terlampau jauh bila dihubungkan dengan sejarah semasanya. Penyerangan kedua terhadap bangsa Portugis dilakukan pada tahun 1527. penyerangan ditujukan terhadap bangsa Portugis yang sudah menguasai Jayakarta atau Sunda Kelapa (Jakarta). Penyerangan kedua dipimpin oleh Faletehan atau Fatahillah, menantu Raden Fatah atau kakak ipar Sultan Trenggono. Sudah barang tentu penguasaan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara pulau Jawa terlebih dahulu dilakukan. Dimungkinkan sekali, Kyai Katong ada dalam rombongan ekspedisi ini.

Kelihatannya catatan ini ada sedikit dukungan data lainnya. Dengan demikian bisa mendekati kebenaran bila kedatangan Sunan Katong di Kendal-Kaliwungu pada tahun 1527, atau ketika itu Kerajaan Islam Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono. Catatan itu didukung dan ada sedikit sentuhan positif dengan cerita rakyat yang sudah menjadi cerita baku dan bahkan sudah menyatu pada diri masyarakat Kaliwungu-Kendal, yaitu cerita Sunan Katong. Data Pendukung itu antara lain menyebutkan sebagai berikut:

Adanya cerita perguruan antara Sunan Katong dengan Ki Ageng Pandan Arang I (Ki Made Pandan) dan Ki Ageng Pandan Arang II atau Sunan Tembayat di padepokan Tirang Amper atau Bergota. Ketika bertemu dengan penguasa Semarang itu, Ki Ageng Pandan Arang belum pindah ke Tembayat. Artinya Ki Made Pandan ataupun Ki Pandan Arang II masih dalam satu wilayah, di Tirang Amper atau Bergota.
Adanya cerita Bhatara Katong dengan Syeikh Wali Lanang, dengan perintah Sunan Bonang pada Syeikh Wali Lanang yang ditugasi mengajar Sunan Katong, dan kemudian adanya pertemuan antara Ki Ageng Pandan Arang dengan Syeikh Wali Lanang. Untuk memperjelas data-data itu kiranya perlu kesabaran dan perlu ketelitian dalam rangka menghindari kesalahan yang fatal. Dan perlu disadari bahwa pertemuan itu belum tentu bisa mencapai kebenaran seratus persen. Antara Sunan Katong dan Ki Ageng Pandan Arang adalah saudara seayah, keduanya putera Pangeran Suryapati Unus. Ibu Ki Made Pandan Arang adalah puteri Adipati Urawan di Madiun. Sedangkan Kyai Katong putera Adipati Unus dari istri Ponorogo. Puteri Bhatara Katong.
Kedua putera Adipati Unus itu ternyata mempunyai visi sama. Mereka tidak tertarik dengan politik pemerintahan, mereka memilih sebagai penyiar agama Islam atau dunia spiritual. Dengan demikian mereka juga harus rela meninggalkan kerajaan. Padahal kalau mereka ada ke sana, baik Ki Ageng Pandan Arang maupun Kyai Katong sangat mudah. Ki Made Pandan Arang bisa memilih ingin menjadi penguasa Demak ataupun Adipati di Urawan Madiun. Kedua daerah itu sangat memungkinkan untuk mengantarkan dirinya untuk menjadi orang nomor satu. Sedangkan Kyai Katong juga demikian. Ia tinggal memilih apakah di Demak atau Ponorogo, keduanya memberi harapan yang bagus.
Dalam cerita sejarah dan cerita rakyat atau cerita tutur diterangkan bahwa cerita-cerita yang menyangkut riwayat perjalanan Sunan Katong memang saling berhubungan, dan cerita-cerita itu saling melengkapi. Alur cerita sejarahnya kemudian dikemas dalam bentuk cerita rakyat yang seakan-akan saling bertentangan. Padahal tidaklah demikian. Cerita-cerita itu dimaksudkan untuk saling mengisi dan saling melengkapi. Dengan bahasa lain, alur sejarahnya dibungkus dengan cerita rakyat yang dihiasai dengan "sanepo" atau kiasan-kiasan yang mengandung filsafat/pendidikan. Sebab, para penulis cerita babad itu lebih dilingkari dengan budaya dan bahasa yang sangat halus. Dan para pujangga itu lebih mengedepankan rasa dari pada lainnya. Sehingga penulisannya lebih mengarah pada filsafat kehidupan.

Melihat keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal/Kaliwungu memberi pengertian bahwa di wilayah itu dulu menjadi pusat pemerintahan agama Hindu/Budha. Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu. Nama-nama itu antara lain; Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan, Katemenggungan Sepuh dan Kandangan. Patih, Ronggo, Tumenggung, Demang, Kenduruwan adalah perangkat pemerintahan Majapahit, yang disebut Sapta Riwilwatika. Sedangkan Kandangan adalah Sameget Sapta Upapati. Hakim pemutus perkara yang jumlahnya tujuh ; Kandangan, Pamotan, Panjang Jiwa, Andamohi, Manghuri dan Jamba. Dengan demikian tidak berlebihan bila Kaliwungu dulunya sebuah Kadipaten Majapahit. Seperti disebut-sebut bahwa menurut tuturan jaman Majapahit, bahwa "kali' disebutnya dengan “banyu”.




EmoticonEmoticon