2016/12/12

Makam Mbah Ganjur (leluhur Gus Dur) di desa Ngroto Grobogan

Pada zaman dulu di negara Persia terdapat keluarga Syekh Maulana Maghribi, dengan istrinya bernama Nyai Samsiyah. Keluarga itu mempunyai anak laki-laki, bernama Abdurrahman. Pekerjaan sehari-hari sebagai pedagang, yang mengedarkan barang dagangan ke pelosok-pelosok desa.


Makam Mbah Ganjur
Disamping berdagang, beliau juga menyebarkan agama Islam di daerah yang dilalui. Karena pekerjaannya sebagai seorang pedagang dan juga sebagai penyebar agama Islam, beliau mendapat nama lakofan (julukan) Maulana Maghribi yang artinya seorang musyafir yang menyebarkan agama Islam. Adapun siapa nama asli Maulana Maghribi, sayang tidak ada yang tahu.

Pada suatu ketika Syeh Maulana Maghribi pergi ke tanah Jawa, untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Bertahun-tahun beliau di tanah Jawa, tanpa memberi kabar istrinya. Karena rindu kepada ayahnya, setiap malam Abdurrahman selalu menangis. Nyai Samsiyah kebingungan melihat putranya itu, maka beliau bertekad menyusul suaminya ke tanah Jawa. Dengan menumpang kapal layar, berangkatlah Nyi Samsiyah bersama putranya menuju tanah Jawa. Turunlah Nyi Samsiyah bersama putranya di pelabuhan Cirebon, kemudian dicari rumah penduduk untuk tempat menginap. Ditempat yang baru itu Nyi Samsiyah kebingungan mencari keberadaan suaminya. Karena takut meneruskan perjalanan, beliau memutuskan sementara tinggal di Cirebon.

Selama berada di Demak, mereka diberi tugas menanak nasi untuk makan para santri yang bekerja membuat masjid. Sedangkan Abdurrahman diberi tugas mengumpulkan kayu tatal, yang digunakan untuk menanak nasi. Sunan Kalijaga tertarik melihat ketekunan ibu dan anak itu, dalam bekerja, menyediakan makanan bagi para pekerja. Juga melihat sorot mata Abdurrahman, Sunan Kalijaga tahu bahwa anak itu memiliki suatu kelebihan. Karena itu beliau ingin mencoba, sampai dimana ketekunan Abdurrahman melaksanakan tugas yang diberikan. Beliau kemudian memberi tugas Abdurrahman untuk memukul bende (bedug), tanda para santri harus melaksanakan sholat atau istirahat.
Ternyata dalam memukul bende dia tidak menggunakan kayu, tetapi hanya menggunakan kepalan tangan (bahasa Jawa : diganjur). Walau menggunakan kepalan tangan, tetapi suaranya dapat terdengar sampai jauh. Dengan kelebihan itu, Abdurrahman diberi nama julukan Ganjur,
Sekitar satu abad setelah Kyai Sayyid Abdurrahman Ganjur wafat, datang seseorang bernama Khamidin ke Pedukuhan Ngroto untuk memperdalam ajaran agama Islam. Khamidin kemudian menikah dengan wanita setempat dan diangkat menjadi demang (kepala dukuh). Ki Demang Khamidin meminta kepada Kiai Soleh dari Jatisari, Salatiga  Makam Mbah Ganjur.
”Pada suatu ketika Kiai Siradjudin berjalan-jalan di pinggir Sungai Tuntang. Karena kepandaian yang dimiliki, dia mampu melihat dua makam lama, yaitu makam Kiai Abdurrahman Ganjur berdampingan dengan ibunya Nyai Syamsiyah yang tertimbun lumpur sungai,” kata Chumaidi.
Oleh Kiai Siradjudin makam tersebut kemudian dibersihkan, dan diberi nisan. Semua penduduk diajak merawat makam itu, karena almarhum Kiai Abdurrahman Ganjur adalah orang yang berjasa mengislamkan penduduk Ngroto.
Bangunan Masjid Jamik Sirodjuddin Ngroto yang terbuat dari kayu Jati glondongan (utuh-red), sampai sekarang ini masih berdiri kokoh.
Bangunan masjid ini memiliki keunikan, yaitu tidak pernah terdapat rumah serangga yang menempel, meskipun sejak pertama berdiri belum pernah dibersihkan. Kentongan yang dibuat bersamaan waktu masjid dibangun hingga sekarang disimpan dekat mimbar.
Berkat jasa-jasanya ketika wafat jenazah Kiai Siradjudin dimakamkan di sebelah timur makam Kiai Abdurrahman Ganjur.
 Di atas makam tersebut dibuatkan cungkup dengan bentuk yang sangat cantik. Untuk menghormati jasanya, setiap tanggal satu syura digelar haul bersamaan dengan haul Kiai Abdurrahman Ganjur.
Saat ini di Desa Ngroto terdapat Ponpes Miftahul Huda dan lembaga pendidikan Yaspia (Yayasan Pejuang Islam Abdurrahman Ganjur), sebagai salah satu bukti bahwa desa tersebut memiliki sejarah perkembangan Islam yang cukup besar. Bangunan Masjid Jamik Sirodjuddin Ngroto di lokasi Ponpes Miftahul Huda juga mampu menampung jamaah Al Khidmah yang melakukan kegiatan ritual keislaman.


EmoticonEmoticon